MATEMATIKA
Kalau lagi baca, si sulung Rayhan pasti aja males disuruh ngerjain yang lainnya, apalagi disuruh ngerjain matematika. Kalau bukan karena nilainya yang super jeblok, aku sih gak bakal ngajak dia ngerjain matematika, karena dia akan selalu bilang "AKU PUSING IBU". Huh kata-kata yang paling males aku denger (tapi si suami bilang aku juga bakal ngomong kaya gitu sih kalau aku gak suka ngerjain sesuatu, nah lo menular ternyata ya...).
Aku jadi pusing (tu kan keluar pusingnya) kalau si sulungku gak mau ngerjain latihan yang sengaja aku siapin biar nanti waktu final tes di sekolahnya gak kaya aku dulu, sks banget (sistem kebut semaleman). Tapi mau bagaimana lagi, aku udah janji ke diriku sendiri bahwa aku bakal nyiapin anak2ku jauh sebelum dia tes dari dia masuk sekolah. Eh yang ada sekarang udah kelas tiga SD aku masih aja kecolongan, tesnya selalu sks terus. Aduh bagaimana ya giliran aku yang pusing nih...PUSIIIIIING!!!
Lain lagi cerita sepupunya, Ryan. Weekend kemaren kebetulan pada kumpul di rumah kakak iparku yang nomor 3, dan kebetulan (udah direncanain sih sebelumnya) rumahnya disebelah rumahku. Ceritanya berawal ketika 3 kakak adik sepupuan ini pada ngumpul di kamar anakku, kebetulan aku ada disana sedang nunggu anakku ngerjain tugas matematika rutinnya. Bertanyalah si Ryan.
Aku pikir aku punya anak yang juga doyan matematika, karena mulai dari pendiamnya, senang komputernya, senang bacanya mirip bapaknya, like father like son. Ternyata untuk urusan hitung berhitung si sulung tidak mengikuti bapaknya yang matematika banget. Takut...? kayanya sih..., cos kalau bukan ngikutin bapaknya, ngikutin ibunya dong, oalah..., ibunya nggak mudeng sama matematika.
Intinya sih saya hanya ingin bertanya, apa anak2 yang pinter matematikanya ketika besar, juga tidak suka matematika seperti percakapan pitil2 tadi? (Tapi kalau dari cerita bapaknya anak2, doi udah suka matematika dari bayi!!).
Mau ngutip ceritanya mba Helvy bahwa ada anak yang diberi talenta untuk dengan berotak encer dengan matematika, ada yang sukanya dan bakatnya pada bidang lain. Ah sepertinya mudah untuk menentukan bakat anak. Tapi so far kok aku masih sulit ya melihat bakat si anak ini. Belum? Mungkin juga belum waktunya saya menentukan kemana arah si anak ini, bakat apa yang akan membawanya meraih cita-citanya kelak.
Balik lagi ke awal, saya hanya ingin anak saya punya kemampuan untuk bertanggungjawab pada hal-hal yang pasti akan dilaluinya. Dan menurut saya itu bisa dimulai dari disiplin dalam menyiapkan pelajaran di sekolah. Apapun itu, suka atau tidak dia harus melaluinya dan dapat bertanggungjawab untuk semua itu.
Semoga Allah selalu menjagamu nak.
Aku jadi pusing (tu kan keluar pusingnya) kalau si sulungku gak mau ngerjain latihan yang sengaja aku siapin biar nanti waktu final tes di sekolahnya gak kaya aku dulu, sks banget (sistem kebut semaleman). Tapi mau bagaimana lagi, aku udah janji ke diriku sendiri bahwa aku bakal nyiapin anak2ku jauh sebelum dia tes dari dia masuk sekolah. Eh yang ada sekarang udah kelas tiga SD aku masih aja kecolongan, tesnya selalu sks terus. Aduh bagaimana ya giliran aku yang pusing nih...PUSIIIIIING!!!
Lain lagi cerita sepupunya, Ryan. Weekend kemaren kebetulan pada kumpul di rumah kakak iparku yang nomor 3, dan kebetulan (udah direncanain sih sebelumnya) rumahnya disebelah rumahku. Ceritanya berawal ketika 3 kakak adik sepupuan ini pada ngumpul di kamar anakku, kebetulan aku ada disana sedang nunggu anakku ngerjain tugas matematika rutinnya. Bertanyalah si Ryan.
"Kamu lagi ngerjain apa Ray?
"Kali-kalian dari ibu," jawab anakku.
"Kalau di rumah aku juga ngerjain kumon"
Si Adin yang dari tadi diem aje sekarang nyaut "kumon? uhh menyebalkan...". Celetuknya.
Ryanpun curhatlah "iya, aku juga gak suka, awalnya kan aku cuma ikutan yang gratisan, tapi ibuku tau2 ngedaftarin. Jadi deh aku tiap hari punya pe-er yang menyebalkan."
Anyway terlepas dari percakapan mereka yang nota-bene masih pitil-pitil (istilahku untuk mereka yang masih kecil2), ada benang merah yang menghubungkan mereka, mmmohh sama matematika, alias kaga' doyan.Aku pikir aku punya anak yang juga doyan matematika, karena mulai dari pendiamnya, senang komputernya, senang bacanya mirip bapaknya, like father like son. Ternyata untuk urusan hitung berhitung si sulung tidak mengikuti bapaknya yang matematika banget. Takut...? kayanya sih..., cos kalau bukan ngikutin bapaknya, ngikutin ibunya dong, oalah..., ibunya nggak mudeng sama matematika.
Intinya sih saya hanya ingin bertanya, apa anak2 yang pinter matematikanya ketika besar, juga tidak suka matematika seperti percakapan pitil2 tadi? (Tapi kalau dari cerita bapaknya anak2, doi udah suka matematika dari bayi!!).
Mau ngutip ceritanya mba Helvy bahwa ada anak yang diberi talenta untuk dengan berotak encer dengan matematika, ada yang sukanya dan bakatnya pada bidang lain. Ah sepertinya mudah untuk menentukan bakat anak. Tapi so far kok aku masih sulit ya melihat bakat si anak ini. Belum? Mungkin juga belum waktunya saya menentukan kemana arah si anak ini, bakat apa yang akan membawanya meraih cita-citanya kelak.
Balik lagi ke awal, saya hanya ingin anak saya punya kemampuan untuk bertanggungjawab pada hal-hal yang pasti akan dilaluinya. Dan menurut saya itu bisa dimulai dari disiplin dalam menyiapkan pelajaran di sekolah. Apapun itu, suka atau tidak dia harus melaluinya dan dapat bertanggungjawab untuk semua itu.
Semoga Allah selalu menjagamu nak.
Label: Anak-Anak